Kamis, 30 Juni 2016

Benarkah Ada Kartel Yang Bermain Dimahalnya Harga Daging Saat Ini?



Kartel itu sendiri merupakan bentuk persekongkolan dari beberapa pihak yang bertujuan untuk mengendalikan harga dan distribusi suatu barang untuk kepentingan (keuntungan) mereka sendiri. Jadi, menurut informasi yang saya dapatkan sepertinya ada kartel yang bermain dimahalnya harga daging, berikut ini informasi yang saya dapatkan tentang adanya kartel di mahalnya harga daging.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyelidiki sepertinya ada keterlibatan kartel dalam perdagangan daging sapi yang menyebabkan penurunan pasokan dan kecenderungan kenaikan harga. Syarkawi menduga kalau penurunan pasokan dan kenaikan harga daging sapi di beberapa daerah terjadi karena ada permainan beberapa pihak yang ingin meraih keuntungan pribadi dari kondisi tersebut. Syarkawi juga menduga telah terjadi perilaku antipersaingan yang dilakukan pelaku usaha secara berkelompok dan menjurus ke kartel.
Untuk mengatasi masalah ini, KPPU menyatakan, bahwa pemerintah harus konsisten menerapkan tataniaga secara utuh. Apabila sisi hulu diintervensi dengan pembatasan pasokan, maka di sisi hilir pemerintah harus melakukan intervensi antara lain melalui penetapan harga di tangan konsumen serta kewajiban menjaga ketersediaan produk di pasar.
Kenaikan harga daging sapi sepertinya menjadi perhatian Wakil Ketua MPR RI Oesman Sapta Odang. Dia mengatakan, bahwa kenaikan terjadi akibat ulah kartel lima perusahaan. Karena itu dia meminta aparat penegak hukum segera mengamankan para perusahaan berpraktik kartel ini.

Daging Sapi Mahal Karena Ulah Kartel

Har­ga daging sapi di Indonesia masih tinggi dibandingkan dengan negara lain diduga karena ada permainan harga oleh kartel sapi. Kartel adalah menahan pasokan daging se­hing­ga mengakibatkan ke­lang­kaan pasokan di pasaran yang memicu kenaikan harga. Akhirnya, pemerintah ter­pak­sa membuka keran impor yang menguntungkan im­portir daging.
Hal tersebut mengemuka dalam Forum Pimpinan Pen­di­dikan Tinggi Peternakan Indonesia (FPPTPI) dan seminar nasional Peternakan se-Indonesia di Hotel Bum­mi­minang, Jumat (22/4). “Di Malaysia, harga da­ging Rp60 ribu per Kg, sepa­ruh dari harga di sini  yang mencapai Rp120 ribu per Kg. Kenapa hal ini bisa terjadi kalau bukan ulah kartel,” ujar Rektor Universitas Andalas, Tafdil Husni. Ia menuturkan, tingginya har­ga daging sapi membuat ma­syarakat menjerit, se­men­ta­ra peternak sapi juga tak me­nikmati manfaat dari ke­nai­­kan harga yang tak biasa itu. “Di sini berkumpul ilmu­wan peternakan dari 80 per­guruan tinggi se-Indonesia. Saya rasa mereka bisa men­cari solusi dari mahalnya harga daging sapi dalam nege­ri saat ini,” harap Tafdil.
Dekan Fakultas Peter­nakan Unand, Jafrinur menu­ding kebijakan pemerintah membatasi sapi impor Juli 2015 sebagai pemicu masih tingginya harga daging sapi saat ini. “Dengan jumlah pen­du­duk Indonesia sekitar 250 juta jiwa, dan jumlah kon­sumsi 2,2 Kg per orang per tahun, dibutuhkan setidaknya 550 juta Kg daging per tahun. Jumlah tersebut setara de­ngan 3 juta ekor sapi yang harus dipotong per tahun. Sementara itu, pada 2015, Indonesia hanya bisa memo­tong 2,3 juta ekor sapi. Sisanya 700 ribu terpaksa didatang­kan dari Australia,” jelasnya.
Ia menyebutkan, Indo­nesia terpaksa mengimpor daging sapi dari luar negeri karena kebutuhan permin­taan daging sapi terus me­ning­kat. Ketika impor diba­tasi, otomatis harga melonjak. “Pasokan daging lokal belum dapat memenuhi se­mua permintaan konsumen karena banyak berasal dari peternak rumah tangga se­hing­ga tak semua sapi siap potong,” tambahnya.
Untuk mengatasinya, Ja­fri­nur menyarankan harus ada pengaturan tataniaga peter­nakan sehingga tak terjadi kartel dan monopoli dalam perdagangan sapi potong yang menyebabkan tingginya harga daging.
Sementara itu, Kepala Di­nas Peternakan Sumbar, Eri­nal­di mengakui adanya ke­nai­kan permintaan daging sapi Sum­bar karena struk­turnya co­cok dijadikan ren­dang yang su­dah jadi maka­nan paling enak di dunia. “Kebanyakan da­ging sapi tersebut sudah di­olah dalam bentuk rendang dan banyak dikirimkan ke luar Sumbar. Imbas rendang se­karang su­dah jadi makanan kaliber dunia,” ucapnya.
Ia juga tak menampik daging sapi impor sudah ada di Sumbar karena kebutuhan permintaan sapi terus me­ningkat. Tapi, daging sapi impor tersebut digunakan untuk olahan masakan barat sebab struktur daging impor tersebut lunak dan tak cocok untuk olahan rendang kare­nanya lebih banyak diolah untuk makanan barat.
Salah satu upaya men­cu­kupi permintaan daging sa­pi, kata Erinaldi, adalah peng­gemukan sapi. Selain itu, pi­ha­knya bekerja sama de­ngan investor menyalurkan 1.500 sapi kepada 127 peter­nak. “Setiap peternak meme­roleh 10 sapi per orang atau per kelompok, dengan syarat setiap hari berat badan satu ekor sapi harus bertambah satu Kg per hari. Program tersebut telah berjalan tiga tahun belakangan. Sapi diasu­ransikan, jika hilang atau mati. Sementara keuntu­ngan­nya 70 persen untuk peternak dan 30 persen untuk inves­tor,” jabarnya.
http://harianhaluan.com/news/detail/52340/daging-sapi-mahal-karena-ulah-kartel

Rabu, 29 Juni 2016

Persaingan Tidak Sehat dan Contohnya



PERSAINGAN TIDAK SEHAT

Yang dimaksud oleh persaingan usaha tidak sehat adalah suatu persaingan antara pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara cara yang tidak jujur atau dengan cara melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Pelaku usaha adalah setiap orang atau pun badan usaha , baik yang berbentuk badan hukum atau tidak, yang didirikan atau berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah Republik Indonesia yang menyelenggarakan berbagai kegiatan dalam bidang ekonomi

Contoh Kasus Persaingan Usaha 

Chevron Divonis Denda Rp 2,5 Milyard

JAKARTA. Raksasa perusahaan minyak Chevron Indonesia Company divonis bersalah melakukan tindakan diskriminasi dalam tender export pipeline front end enggineering & design contract. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menghukum Chevron membayar denda sebesar Rp 2,5 miliar.

“Menyatakan bahwa terlapor I (Chevron) terbukti secara sah dan menyakinkan melanggar Pasal 19 Huruf D Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,” kata Ketua Majelis Komisi Muhammad Nawir Messi, Kamis (16/5).

Dalam Pasal 19 Huruf d disebutkan pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku uasaha lain yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat berupa melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

Sementara itu, Majelis Komisi juga memutuskan bahwa PT Worley Parsons Indonesia (terlapor II) tidak terbukti melanggar Pasal 19 Huruf D UU No. 5 Tahun 1999. Chevron disebutkan melakukan praktek diskriminasi terhadap peserta tender lainnya yakni PT Wood Group Indonesia. Sementara itu, Chevron telah menetapkan PT Worley Parsons (terlapor II) selaku pemenang tender.

Terkait putusan ini, Stefanus Haryanto, Kuasa Hukum Chevron, enggan untuk memberikan komentarnya. “No comment ya,” katanya. Hal serupa juga disampaikan oleh Mochmad Fachri selaku kuasa hukum Worley Parsons.

Perkara ini berawal dari penyelidikan terhadap Resume Monitoring KPPU RI mengenai adanya Dugaan Pelanggaran Pasal 19 huruf d dan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 pada Dugaan Pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terkait dengan Tender Export Pipeline Front End Engineering & Design Contract (No. C732791) di Lingkungan Chevron Indonesia Company, yang dilakukan oleh Chevron Indonesia Company sebagai Terlapor I dan PT Worley Parsons Indonesia sebagai Terlapor II.

Objek perkara ini adalah Tender Export Pipeline Front End Engineering & Design Contract (No. C732791) di Lingkungan Chevron Indonesia Company dengan total estimate contract value sebesar 4.690.058 US$. Tender ini menggunakan sistem pemasukan penawaran dua tahap berdasarkan PTK 007 Revisi 1 Tahun 2009, yang terdiri dari tahap teknis dan tahap komersial.